Ketika Muru’ah Terhempas
AM Iqbal Parewangi
(Ketua Majelis Istiqamah ICMI Muda Indonesia, Ketua BKSP DPD RI 2014-2019)
Belum sembuh luka perih anak bangsa melihat umara puncak Indonesia “tak dianggap” di Amerika, datang lagi berita pedih seorang ulama terpandang Indonesia “tak dianggap” di Singapura.
Elon Musk tentu tahu bahwa Jokowi adalah Presiden Indonesia, negeri berpenduduk terbesar keempat sejagat. Namun pengusaha tajir Amerika itu agaknya merasa cukup mengenakan kaos oblong ketika Jokowi mengunjunginya di komplek Space-X di Hawthorn, California, 14 Mei 2022. Tidak seperti ketika bertemu beberapa presiden lainnya, dimana Musk berbusana pantas.
Imigrasi Singapura bukan tidak tahu bahwa Ustadz Abdul Somad (UAS) adalah ulama terpandang Indonesia, negeri berpenduduk Muslim terbesar sejagat. Namun imigrasi negara kecil seluas 728,6 km persegi itu, yang oleh KPK pernah dijuluki “surga koruptor”, tidak sungkan mengisolasi UAS di sepetak ruang 2 meter persegi, menginterogasinya sekira 3 jam, lalu mendeportasinya tanpa menyebut alasan.
Ada lagi peristiwa “tak dianggap” sebelumnya. Presiden Amerika Joe Biden dan PM Singapura Lee Hsien Loong tahu Jokowi adalah Presiden Indonesia. Namun saat bincang-bincang di halaman Gedung Putih, ada foto viral yang menunjukkan Jokowi berdiri sendirian tanpa kawan bicara : di sebelahnya tampak Presiden Biden ngobrol dengan Sultan Hassanal Bolkiah, sementara di sisi lainnya PM Lee Hsien Loong ngobrol dengan orang lain.
Bagi insan berhati, “tak dianggap” itu luka. Dan goresan luka demi luka itu, jika hendak to the point, hempasannya pada muru’ah bangsa Indonesia. Muru’ah di mata bangsa-bangsa lain, dan tak kalah pentingnya muru’ah di mata anak bangsa sendiri.
Muru’ah bangsa sangat penting. Tanpa muru’ah, suatu bangsa bakal nelangsa dalam pergaulan antar-bangsa. Sambutan kaos oblong Elon Musk pada Presiden Jokowi, hingga tindakan deportasi imigrasi Singapura pada UAS, adalah sebentuk isyarat nelangsa. Atau dalam bahasa apa adanya, sebentuk tragedi diplomatik yang berdaya hempas pada muru’ah bangsa.
Menyadari kondisinya seperti itu, saya tertarik menelusuri sejumlah lorong-lorong musabab logisnya. Salah satu yang serta-merta muncul adalah lorong utang.
Dari lima negara pemberi utang terbesar kepada Indonesia kini, bukan kebetulan bahwa Singapura dan Amerika Serikat menempati peringkat teratas. Menyusul kemudian Jepang, China, dan Hong Kong. Total ada 21 negara pemberi utang kepada Indonesia kini.
Per Oktober 2021, sesuai data pada laman resmi Bank Indonesia, utang Indonesia dari Singapura setara dengan Rp906,1 triliun dan dari Amerika Rp435,2 triliun.
Apakah informasi tentang utang Indonesia itu ada di benak Elon Musk ketika menyambut Jokowi? Ada di benak imigrasi Singapura ketika mendeportasi UAS? Ada di benak Joe Biden dan Lee Hsien Loong ketika membiarkan Jokowi berdiri sendirian tanpa kawan bicara?
Cuma mereka dan Tuhan yang tahu pasti.
Tapi kita tahu bahwa utang memiliki efek dramatis : pemberi utang dan penerima utang berada pada kasta berbeda, dan terlilit “relasi superior-inferior”. Negara pemberi utang mengatur dengan tangan di atas, sementara negara penerima utang tunduk diatur dengan tangan terjulur.
Ujung-ujungnya, utang dapat menghempaskan muru’ah negara pengutang. Negara bisa saja bangkrut karena tak mampu bayar utang. Bahkan negara pengutang bisa terkoreksi atau malah terokupasi kedaulatannya.
Tidak cuma Yunani, Zimbabwe, dan Venezuela yang bangkrut karena utang. Ekuador, Argentina, dan beberapa negara lainnya juga pernah mengalami kondisi serupa. Bangkrut karena utang, kedaulatan terkoreksi bahkan terokupasi, muru’ah pun terhempas.
Bagaimana dengan utang Indonesia?
Bank Dunia dalam laporan bertajuk International Debt Statistics 2021 mencatat, Indonesia masuk dalam jajaran 10 negara yang memiliki utang terbesar. Hingga kuartal III-2020, utang luar negeri Indonesia menempati posisi terbesar ketujuh, dan itu naik dua kali lipat lebih dalam 10 tahun terakhir.
Menurut catatan Kementerian Keuangan RI, total utang pemerintah pada tahun 2010 sebesar Rp1.676,85 triliun, kemudian melonjak menjadi Rp6.074,56 triliun pada tahun 2020.
Agar lebih jelas, kita perluas spektrum waktu pembacaan terhadap catatan Kementerian Keuangan RI itu.
Hingga tahun terakhir periode pertama SBY, 2009, utang pemerintah tercatat sebesar Rp1.590,66 triliun. Lima tahun kemudian, saat berakhirnya periode kedua SBY pada tahun 2014, utang pemerintah bertambah Rp1018,12 triliun menjadi Rp2.608,78 triliun.
Pada tahun 2015, setelah 1 tahun pertama pemerintahan Jokowi, utang pemerintah melonjak menjadi Rp3.165,13 triliun atau bertambah Rp556,35 triliun dari tahun sebelumnya.
Jika disimak secara komparatif, pertambahan utang pemerintah dalam 1 tahun pertama pemerintahan Jokowi sama dengan 54,6 persen atau separoh lebih dari pertambahan utang pemerintah selama 5 tahun periode kedua pemerintahan SBY.
Jauh sebelum pandemi Covid-19, utang pemerintah terus menanjak. Bahkan dalam kurun waktu 2014 hingga 2019, pemerintahan Jokowi telah mencetak utang baru sebesar Rp4.016 triliun.
Sampai akhir Desember 2020, total utang pemerintah mencapai Rp6.074,56 triliun. Kemudian naik menjadi Rp6.687,28 triliun per akhir Oktober 2021. Dan naik lagi menjadi Rp7.052,5 triliun pada Maret 2022.
Utang memang krusial. Selain bisa membuat negara bangkrut, mengakibatkan kedaulatan negara pengutang terkoreksi dan terokupasi, utang juga dapat menghempaskan muru’ah bangsa.
Meski begitu, utang bukanlah satu-satunya faktor penghempas muru’ah bangsa.
Ada berbagai faktor lain. Termasuk jika negara tidak hadir membela dan melindungi warganya di negara lain, misalnya dalam peristiwa yang dialami UAS di Singapura. Termasuk jika hankam tidak memiliki alutista memadai dan mumpuni untuk menjaga kedaulatan negara. Termasuk juga jika pemimpin bangsa tidak menjaga muru’ah dalam pergaulan internasional, misalnya dengan asyik blusukan saham kemana-mana demi memenuhi pundi-pundi cuan pribadi dan kroni-kroninya. Dan lainnya.
Last but not least, mutlak mengikhtiarkan tegaknya muru’ah bangsa. Seluruh faktor penghempasnya pun perlu dihempaskan. Tentu saja ikhtiar mulia itu meniscayakan hadirnya pemimpin yang memenuhi kredo prasyarat : pada diri pemimpin sejati bersemayam muru’ah tinggi.
Muru’ah diri mutlak. Bagaimana mungkin seorang pekerja politik dapat menegakkan muru’ah bangsanya, jika dirinya sendiri hampa muru’ah?
Selengkapnya baca di :
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=7841690515855910&id=100000451187526